Cerita Brian Mengajar di Tanah Maluku, Sebuah Pengalaman Berharga dari Program Kampus Mengajar Angkatan 8

YOGYAKARTA (ILKOM) - Prestasi membanggakan Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2022, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Respati Yogyakarta (UNRIYO) yang berkesempatan mengikuti program Kampus Mengajar (KM) Angkatan 8 pada SD Negeri Inpres Vatwahan, Kabupaten Maluku Tenggara. Namanya Brian Rahajaan, lolos Program Kampus Mengajar Angkatan 8 yang berlangsung mulai September – Desember 2024 lalu merupakan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi, Brian selalu berusaha untuk menjalin hubungan yang baik dengan berbagai pihak melalui komunikasi yang efektif. Namun, pengalaman selama mengikuti Program Kampus Mengajar angkatan 8 di Maluku benar-benar membuka wawasan tentang komunikasi, pendidikan, dan kehidupan sosial yang jauh berbeda dari yang dia kenal.

Berikut cerita Brian yang ditulisnya dalam bentuk bercerita mengenai pengalaman yang dia dapatkan saat mengikuti Program Kampus Mengajar Angkatan 8 di Maluku. Berbagi pengalaman menarik selama menjadi bagian dari Program Kampus Mengajar, yang bukan hanya memberikan kontribusi bagi anak-anak di sana, tetapi juga memberinya pelajaran hidup yang berharga.

Keberangkatan ke Maluku: Menatap Tantangan Baru

Saya mendapatkan lokasi penempatan untuk Program Kampus Mengajar di sebuah Sekolah Dasar (SD) yang berada di Pulau Kei Kecil, Maluku. Dengan mendapatkan lokasi penempatan tersebut bisa dibilang saya sebagai satu-satunya mahasiswa pada Program Kampus Mengajar angkatan 8 yang mendapatkan lokasi penempatan yang sangat jauh karena mengharuskan perjalanan dari Jogja ke Maluku. Keputusan untuk mengikuti Program Kampus Mengajar di daerah yang jauh dari kota besar membuat saya sedikit gugup. Apalagi saya tidak pernah membayangkan akan bisa mengajar di sekolah dasar karena bukan berlatar belakang dari prodi seperti PGSD atau keguruan lainnya. Namun, rasa penasaran dan keinginan untuk memberikan dampak positif kepada anak-anak yang membutuhkan motivasi dan ilmu pengetahuan terutama untuk mereka yang berada pada Timur Indonesia yang bisa dibilang masih tertinggal dalam bidang pendidikan bahkan saya sendiri merasakannya karena berasal dari sana membuat saya memutuskan untuk mengikuti program ini.

Perjalanan menuju Maluku tidaklah mudah. Saya harus menempuh penerbangan yang cukup panjang dengan harga tiket pesawat yang begitu mahal, saya sendiri harus mengeluarkan biaya pribadi sekitar 5 jutaan serta harus melalui 2 kali transit agar bisa sampai di lokasi sekolah penempatan itupun baru tiket pergi belum termasuk balik. Sehari setelah sesampainya di sana, saya langsung melakukan lapor diri pada dinas pendidikan setempat bersamaan dengan teman-teman sekelompok saya yang berasal dari kampus pada daerah setempat dilanjutkan dengan lapor diri pada lokasi sekolah penempatan di mana langsung disambut hangat oleh warga sekolah. Saya segera menyadari bahwa meskipun kehidupan mereka sederhana, mereka memiliki rasa kebersamaan yang sangat erat.

 

Menjadi Pengajar: Menghadapi Realita Pendidikan di Daerah Terpencil

Setelah melakukan lapor diri di sekolah, saya mulai memasuki dunia pendidikan di SD Negeri Inpres Vatwahan. Lokasi sekolah yang terletak di Pulau Kei Kecil, Maluku, memiliki tantangan tersendiri, terutama terkait dengan fasilitas yang terbatas. Fasilitas sekolah di sini sangat sederhana. Sekolah ini hanya memiliki ruang kelas yang tidak terlalu luas, dengan beberapa meja dan kursi yang terkadang terlihat mulai usang terdapat juga satu perpustakaan serta satu laboratorium komputer dengan jumlah chromebook yang sangat terbatas.

Namun, meski dengan keterbatasan tersebut, saya merasakan semangat yang luar biasa dari para siswa. Mereka sangat antusias saat memasuki kelas. Mata mereka penuh rasa ingin tahu, meskipun dengan fasilitas yang minim. Siswa-siswa di SD Negeri Inpres Vatwahan memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar, meski mereka tidak memiliki banyak akses terhadap teknologi atau sumber belajar tambahan seperti yang kita temui di kota besar. Anak-anak di sini lebih mengandalkan interaksi langsung dengan pengajaran dari guru atau pendamping yang hadir secara langsung.

Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya menyadari pentingnya komunikasi yang efektif dalam menyampaikan materi kepada anak-anak di daerah terpencil. Komunikasi tidak hanya berfokus pada kata-kata, tetapi lebih pada cara penyampaian yang bisa mudah dipahami oleh mereka. Saya mulai mencari cara untuk membuat pembelajaran menjadi lebih menarik, dengan pendekatan yang berbeda dari yang biasa saya lakukan di kampus. Di sini, saya tidak bisa hanya mengandalkan teori yang diajarkan di kelas, tetapi juga harus menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan mereka yang unik.

Salah satu hal yang paling menantang adalah metode pembelajaran yang sesuai dengan cara mereka belajar. Banyak dari mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, sehingga mereka lebih paham dengan dunia nyata yang mereka hadapi sehari-hari. Untuk itu, saya mencoba mengaitkan materi pelajaran dengan aktivitas sehari-hari mereka. Dengan begitu, mereka dapat mengaitkan apa yang dipelajari dengan kehidupan mereka, membuat mereka lebih tertarik dan mudah memahami materi.

Selain itu, keterbatasan sarana juga membuat saya lebih kreatif dalam mencari bahan ajar. Saya mulai membuat alat peraga dari barang-barang sederhana yang ada di sekitar. Dengan menggunakan potongan kardus, kertas bekas, atau ember bekas, saya menciptakan media pembelajaran yang interaktif serta mengjarkan tentang pemanfaatan barang bekas menjadi sarana yang berguna. Tak jarang, saya membuat permainan edukatif yang menggabungkan pembelajaran dengan aktivitas fisik, sehingga para siswa tidak hanya duduk mendengarkan, tetapi juga aktif bergerak dan belajar.

 

Komunikasi yang Menginspirasi: Refleksi Pribadi

Pengalaman saya di Maluku memberikan banyak pelajaran tentang komunikasi, baik dalam konteks profesional maupun sosial. Di tengah keterbatasan fasilitas, komunikasi tetap menjadi alat yang sangat penting untuk mengatasi berbagai tantangan. Saya belajar bahwa cara kita berkomunikasi—baik dengan sesama mahasiswa, guru, maupun warga setempat-akan sangat mempengaruhi hasil yang ingin dicapai.

Selain itu, program ini mengajarkan saya tentang pentingnya pengajaran yang berbasis pada nilai-nilai lokal. Anak-anak di daerah terpencil ini sangat menghargai identitas budaya mereka, dan mereka lebih mudah menerima materi yang disampaikan dengan pendekatan yang sesuai dengan kehidupan mereka. Hal ini memberi saya pemahaman baru tentang bagaimana cara terbaik untuk mengintegrasikan pengetahuan akademis dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

 

Refleksi dan Kembali ke Kampus: Pembelajaran yang Tak Ternilai

Pengalaman saya mengajar di SD Negeri Inpres Vatwahan, Maluku, bukan hanya mengajarkan saya tentang pendidikan, tetapi juga tentang kehidupan. Saya belajar untuk beradaptasi dengan tantangan baru, mengatasi keterbatasan fasilitas, dan menyampaikan pengetahuan dengan cara yang lebih kreatif. Saya juga menyadari bahwa pendidikan bukan hanya tentang memberikan materi, tetapi juga tentang membangun hubungan yang kuat dengan siswa dan masyarakat.

Kembali ke kampus setelah menyelesaikan Program Kampus Mengajar selama 6 bulan, saya merasa lebih matang dalam berpikir dan bertindak. Pengalaman ini memberi saya perspektif yang lebih luas tentang pentingnya komunikasi dalam kehidupan sosial, serta bagaimana pendidikan dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk membawa perubahan, meskipun di daerah yang terpencil sekalipun. Saya berharap, pengalaman yang saya dapatkan selama mengikuti program kampus mengajar di Maluku ini bisa menjadi bekal untuk saya dalam menghadapi tantangan lebih besar di masa depan, baik dalam dunia pendidikan, komunikasi, maupun kehidupan sosial secara umum.

Program Kampus Mengajar ini bukan hanya tentang memberikan ilmu kepada anak-anak di daerah terpencil, tetapi juga tentang belajar dari mereka dan dari pengalaman hidup yang mereka jalani setiap hari. Bagi saya, perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang mengajarkan tentang makna sejati dari berbagi dan berkomunikasi, serta bagaimana membangun masa depan yang lebih baik melalui pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kebersamaan dan saling menghargai. (Penulis: Brian Raharjaan. Editor: MS)

 

Follow INSTAGRAM: @ilkom_unriyo
FACEBOOK: Prodi Ilmu Komunikasi Unriyo
YOUTUBE CHANNEL: Prodi Ilmu Komunikasi UNRIYO

.

Berita Sebelumnya Dosen Ilmu Komunikasi UNRIYO Jadi Tim Penulis Modul Lentera Literasi Digital Indonesia Bagi…
Berita Selanjutnya Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UNRIYO, Warhi Pandapotan Rambe dan Dian Rhesa Rahmayanti Terpilih…